Beranda Kemenag Pandeglang Mengenang Kafrawi, Jabatan Untuk Umat

Mengenang Kafrawi, Jabatan Untuk Umat

233
0

Salah satu tokoh muslim Indonesia dan pejuang Kementerian Agama dengan pengalaman luar biasa dalam tiga orde politik, Orde Lama, Orde Baru dan era Reformasi yaitu Drs. H. Kafrawi Ridwan, MA (86 tahun) tutup usia pada Rabu 13 Maret 2019/6 Rajab 1440 H di Jakarta.

Kafrawi dikenal sebagai sosok manajer keagamaan, pembaharu birokrasi agama, motivator bimbingan umat Islam, pembina kerukunan hidup beragama, politisi, birokrat muslim dan pejuang. H. Amidhan dalam buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan Jabatan Untuk Umat: Kesaksian Kolega dan Para Sahabat (2002) menggambarkan apa dan siapa Kafrawi serta pengabdiannya kepada agama, bangsa dan negara.

Perjalanan hidup pria kelahiran Dusun Cangkring Rejo Kediri Jawa Timur tanggal 5 Januari 1932 itu patut menjadi lesson learned bagi generasi penerus. Jejak kiprah Kafrawi sebagai birokrat pejuang tidak terpisahkan dari dinamika sejarah umat Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kafrawi menamatkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1950-an. Sejak muda Kafrawi ditempa sebagai aktivis organisasi yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan dalam hal ini PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Semasa di Gontor, dia menjadi Ketua PII Cabang Gontor. Sewaktu kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) Kafrawi terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa PTAIN dan Ketua PII Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengawali karir sebagai Guru PGA Muhammadiyah, Kafrawi lalu menjadi dosen IAIN, Pembantu Rektor IAIN, dan menjadi pejabat Departemen Agama (kini Kementerian Agama). Sejak muda Kafrawi mahir menulis naskah pidato dalam bahasa Arab dan Inggris. Oleh karena itu, ia diminta membantu K.H.A. Sjaichu selaku Sekjen OIAA (Organisasi Islam Asia-Afrika).

Kafrawi merupakan generasi pertama pegawai Kementerian Agama yang mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Rekomendasi dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi mengantarkannya menjadi mahasiswa Institute of Islamic Studies McGill University Montreal Canada pada 1966 sampai meraih gelar MA. Setelah menyelesaikan kuliah di Canada, ia mengunjungi Universitas Al-Azhar Cairo Mesir dan Universitas Madinah Saudi Arabia dalam rangka orientasi.

Pengalaman pahit dan titik balik dalam kehidupan Kafrawi semasa muda adalah ketika menghadapi sangkaan mendalangi demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi menolak pelantikan Rektor meletus di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta atau dikenal sebagai Peristiwa Oktober 1963. Peristiwa tersebut menimbulkan ekses beberapa dosen yang ditengarai menggerakkan demonstrasi sempat ditahan dan dimutasi ke daerah. Kafrawi dimutasi ke IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Setelah beberapa waktu menjalani masa tugas di Aceh, dengan rekomendasi dari K.H. Dr. Idham Chalid kepada Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, Kafrawi diminta datang ke Jakarta menemui Menteri Agama. Hari itu Jumat, Kafrawi telah ditunggu oleh Menteri Agama di kantor Departemen Agama Jalan M.H. Thamrin No 6 Jakarta.

Sebuah surprise bagi Kafrawi, ia diajak ngobrol sambil berkeliling sepanjang jalan protokol ibukota naik mobil menteri. Karena waktu shalat Jumat akan tiba, Kafrawi ditanya oleh K.H. Saifuddin Zuhri, “Antum mau shalat Jum’at di mana mas?” Kafrawi menjawab, “Di Masjid Agung Al-Azhar pak.” Ia diantar dan diturunkan di depan Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru. Menjelang turun dari mobil, K.H. Saifuddin Zuhri secara pribadi memberi uang buat ongkos di jalan untuk Kafrawi. Menteri Agama melanjutkan perjalanan menuju masjid dekat kediamannya di Jakarta Selatan. Segala perbedaan dan prasangka luruh dalam kebaikan dan akhlak mulia.

Dalam buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan diceritakan juga bahwa sekitar Pemilu 1971, ia dipanggil oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo, salah satu asisten pribadi Presiden Soeharto. Pak Harto sedang menjaring calon Menteri Agama yang mampu memayungi dan mengurusi agama-agama dan masyarakat secara keseluruhan.

“Saya pribadi menginginkan Anda jadi Menteri Agama.” tegas Ali Moertopo.

Jawab Kafrawi, “Mohon maaf, untuk menjadi menteri, ada senior saya yang lebih tepat yaitu Prof. Mukti Ali di Yogya. Saya sendiri merasa masih terlalu muda.” Ali Moertopo menyatakan, “Kalau begitu, Anda atur saja.”

Selang waktu tidak lama Goethe-Institut Jakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah mengadakan seminar bertema Peranan Agama-Agama Dalam Masyarakat. Seminar menampilkan pembicara tunggal Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Setelah itu Ali Moertopo kembali memanggil Kafrawi untuk sekali lagi menanya kesediaan menjadi Menteri Agama. Kafrawi yang tidak ambisius mengejar jabatan tetap menyebut Mukti Ali yang dipandangnya tepat sebagai calon Menteri Agama.

Presiden Soeharto akhirnya memilih pakar ilmu perbandingan agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama menggantikan K.H.Moh Dachlan.

Kafrawi sebelumnya menjabat Pembantu Rektor III IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta diangkat oleh Menteri Agama menjadi Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama. Kendati tidak lama memangku jabatan tersebut, Kafrawi telah meletakkan fondasi pengembangan IAIN sebagai pusat pembinaan sumber daya manusia (SDM) umat Islam. Departemen Agama di masa itu merekrut dosen-dosen muda IAIN yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan tertentu.

Sekitar tahun 1973, Kafrawi dilantik menjadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam menggantikan H. Rus’an. Kepemimpinan birokrasi Departemen Agama sejak era Menteri Agama Mukti Ali cukup banyak diisi oleh sarjana dan teknokrat. Dalam merekrut staf yang akan membantu tugas pimpinan, Kafrawi mewawancara langsung. “Kamu mau tugas administratif atau konsepsional?” tanya Kafrawi, seperti dikenang Amidhan, salah satu abiturient PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negari) yang ditempatkan di Departemen Agama dan terakhir menjabat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji.

Semasa menjabat Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kafrawi diangkat menjadi anggota Badan Pekerja MPRI. BP-MPR-RI bertugas menggodok konsep Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan ditetapkan dalam Sidang Umum MPR dan dijalankan oleh Presiden selaku Mandataris MPR.

Dalam kapasitas sebagai Dirjen yang membidangi tugas membina dan melayani umat Islam, Kafrawi berpikir dan berbuat mengenai hal-hal yang bersifat strategis. Melalui akses politiknya di Golkar, Kafrawi turut mengamankan kepentingan umat beragama, khususnya umat Islam dalam konstelasi kekuasaan Orde Baru.

Di jajaran Golkar sebagai kekuatan politik Orde Baru, khususnya sekitar dasawarsa tahun 70-an, muncul beberapa isu kebijakan tertentu yang hendak dituangkan dalam GBHN dan perundang-undangan, di antaranya:

Pertama, isu pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan nasional. Dalam rapat di Dewan Pertahanan Nasional, Kafrawi mengacungkan tangan menyampaikan protes, “Pada waktu PKI masih berkuasa saja pendidikan agama dipertahankan secara fakultatif di sekolah-sekolah. Koq sekarang pada zaman Golkar berkuasa malah akan dihapus. Apa memang niat Golkar begitu?” ucapnya dengan nada tinggi. Pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri tetap dipertahankan sampai sekarang. Siapa saja yang punya niat dan rencana hendak menggusur pendidikan agama dari sekolah pasti mendapat penolakan dari masyarakat.

Kedua, isu Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Pada tanggal 16 Agustus 1973 Presiden RI menyampaikan kepada DPR konsep RUU tentang Perkawinan yaitu RUU dari Menteri Kehakiman dan menarik RUU tentang Perkawinan Umat Islam serta RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan. RUU Perkawinan yang disampaikan kepada DPR-RI tahun 1973 itu berlaku untuk semua warga negara atau bersifat nasional, tidak membedakan golongan dan suku bangsa.

Konsep RUU Perkawinan tahun 1973 tidak mengakomodir hukum agama di bidang perkawinan (munakahat) sehingga ditolak oleh berbagai elemen umat Islam. Dalam konsep awal RUU Perkawinan, antara lain membolehkan perkawinan beda agama. Menteri Agama Mukti Ali ditunjuk sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR. Mukti Ali dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap RUU Perkawinan. Padahal Departemen Agama tidak ikut dalam penyusunan konsep RUU yang kontroversial itu.

Kafrawi selaku Dirjen Bimas Islam dan Menteri Agama Mukti Ali berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, permasalahan materi RUU Perkawinan berada dalam lingkup tugas Dirjen Bimas Islam dan Menteri Agama memikul beban politis untuk menggolkan menjadi undang-undang dalam pembahasan dengan DPR. Di sisi lain, penolakan kalangan ulama dan umat Islam serta demonstrasi mahasiswa di gedung DPR menolak RUU Perkawinan dari hari ke hari makin memanas.

Ketua DPR/MPR-RI K.H. Dr. Idham Chalid menyarankan agar Kafrawi mencari dukungan yang kontra dengan menemui tokoh-tokoh ulama pesantren di Jawa Timur, yaitu K.H. Bisri Sjansuri dan K.H. Jusuf Hasjim. Para tokoh ulama Jawa Timur diharapkan menolak RUU Perkawinan. Kafrawi juga menemui tokoh ulama ibukota seperti Buya Hamka, K.H. Abdullah Sjafi’i dan lain-lain dengan maksud yang sama.

Melihat gejolak di masyarakat dan aksi demonstrasi di gedung DPR, ABRI tidak ingin terjadi kekacauan. Akhirnya konsep RUU Perkawinan yang lagi dibahas di DPR, atas perintah Presiden Soeharto disesuaikan dengan masukan dan kritik dari masyarakat.

Ketiga, permasalahan kurikulum madrasah dan pesantren. Pemerintah menginginkan kurikulum madrasah disamakan dengan kurikulum sekolah umum. Pembinaan madrasah yang berada di bawah Departemen Agama hendak dialihkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kafrawi di dalam posisi dan perannya di Departemen Agama berpihak pada aspirasi umat.

Keempat, permasalahan Aliran Kepercayaan/Aliran Kebatinan. Saat itu Aliran Kepercayaan hendak dimasukkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GNHN) dan beredar isu akan dilayani dalam satu Direktorat Jenderal di Departemen Agama. Kafrawi dan kawan-kawan dengan tegas menolak jika Departemen Agama ditugaskan melayani Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Aliran Kepercayaan bukan agama dan tidak akan diagamakan, maka tidak relevan diurus dalam kelembagaan Departemen Agama.

Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara mengambil sikap yang sejalan dengan aspirasi umat Islam sesuai masukan dari bawahannya. Pembinaan Aliran Kepercayaan tetap masuk dalam GBHN, tapi dalam nomenklatur Kebudayaan.

Dalam era kepemimpinan Kafrawi sebagai Dirjen Bimas Islam dan sebagai Sekjen, Departemen Agama mengeluarkan sejumlah regulasi, instruksi, edaran dan pedoman berkaitan dengan kegiatan keagamaan, pola bimbingan masyarakat Islam serta tuntunan mengenai permasalahan kerukunan intern dan antarumat beragama sesuai kebutuhan. Pengaturan dan pedoman dimaksud ditujukan kepada internal Departemen Agama dan untuk dilaksanakan oleh instansi pemerintah lainnya, BUMN, swasta dan lapisan masyarakat di seluruh Tanah Air.

Di masa itu, lahir juga Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan Indonesia, Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/66//75 tentang Bimbingan Khutbah, Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor D/Inst/62/75 tentang Pengelolaan Kemakmuran Masjid, Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor D/Inst/101/75 tentang Pembinaan Rohani Karyawan, Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Musholla, Keputusan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1981 tentang Bimbingan Pelaksanaan Dakwah/Khotbah/Ceramah Agama, serta Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor D/Inst/100/1975 tentang Pendirian/Penyediaan Tempat-Tempat Shalat, dan lain-lain.

Direktorat Jenderal Bimas Islam mendorong seluruh instansi pemerintah, BUMN, pengelola terminal angkutan umum, perhotelan, tempat rekreasi, dan lainnya agar menyediakan bangunan tempat ibadah minimal mushalla. Pemerintah tidak memonopoli kegiatan keagamaan, akan tetapi menjalankan fungsi memberikan bimbingan supaya gairah hidup beragama dalam masyarakat berkembang dan terwujud dengan baik.

Kafrawi mengajak direktur yang lingkup tugasnya berkaitan dengan pembinaan perkawinan dan keluarga turun ke daerah-daerah. Direktur Urusan Agama Islam K.H. Djazuli Wangsasaputra secara ex-officio Ketua Umum BP4 (Badan Penasihatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian) dan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Prof. A. Wasit Aulawi, MA secara ex-officio Wakil Ketua BP4, sering diajak turun bersama Kafrawi ke daerah-daerah dalam rangka mendorong tugas pembinaan keluarga dan mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975 tidak lepas dari peran Kafrawi sebagai pelaku sejarah. Kelahiran MUI semula kurang mendapat dukungan dari kalangan pemimpin Islam. MUI dikhawatirkan sebagai alat politisasi ulama untuk kepentingan pemerintah.

Menyikapi hal ini, Menteri Agama Mukti Ali melalui Dirjen Bimas Islam secara pribadi mengundang beberapa tokoh muslim terkemuka, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, Buya Prof. Dr. Hamka, K.H. Hasan Basri, K.H. Sjukri Gozali, dan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud.

Dalam pertemuan di kediaman Menteri Agama disepakati bahwa MUI berdiri dengan syarat tidak operasional. MUI tidak berafiliasi kepada golongan politik manapun. MUI tidak akan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh organisasi Islam lainnya, melainkan hanya sebagai koordinator di tingkat pusat.

Kesediaan Buya Hamka menjadi Ketua Umum MUI adalah berkat pendekatan dari Menteri Agama Mukti Ali dan Dirjen Bimas Islam Kafrawi yang meyakinkan Buya Hamka bahwa MUI adalah lembaga independen dan tidak berada di bawah kontrol pemerintah. Kafrawi ditunjuk sebagai Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendampingi Ketua Umum MUI Prof. Dr. Hamka. Selain perannya membidani kelahiran MUI Pusat, Kafrawi ikut melahirkan LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran) tahun 1977 dan DMI (Dewan Masjid Indonesia) tahun 1972.

Mengenai kepemimpinan Kafrawi di Departemen Agama, Prof. Dr. Zakiah Daradjat yang juga sesama alumni PTAIN Yogyakarta pernah mengungkapkan, “Saya menganggap dia (Kafrawi) adalah pemimpin yang memahami bidang pekerjaannya yang tidak mau ikut campur dengan bidang pekerjaan bawahannya. Cara dia memimpin penuh kekeluargaan dan memberikan kepercayaan penuh terhadap bawahannya. Jika kami mengadakan rapat koordinasi, kami dibuat santai tapi serius untuk memecahkan persoalan. Dengan keharmonisan, kerjasama yang baik, masalah bukan lagi menjadi beban pekerjaan, melainkan menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama.” Penilaian ini tulis Zakiah Daradjat dalam buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan.

Dalam memimpin organisasi dan mengarahkan staf, Kafrawi dikenal sebagai sosok yang konsisten, menjaga integritas, teguh memegang prinsip serta mendorong bawahan agar mengembangkan diri dan meningkatkan karir. Selama menjabat Kafrawi tidak mau menggunakan fasilitas jabatan untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan. Sebuah contoh kecil, sewaktu mengantar orangtuanya yang sudah ‘udzur menunaikan ibadah haji, salah seorang jamaah haji Indonesia mengomentari, “Pak Kafrawi Dirjen di Departemen Agama koq masih mau duduk di bagasi belakang mobil carteran.”

Menyusul pergantian Menteri Agama dari Prof. Dr. H.A. Mukti Ali kepada Letjen TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara, sekitar tahun 1978, Kafrawi dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Agama. Sejalan dengan arahan Menteri Agama, Kafrawi melakukan penataan sumber daya manusia Departemen Agama dengan menegakkan prinsip profesionalisme. Mutasi, rotasi dan promosi pejabat cukup banyak dilakukan dalam rangka peremajaan organisasi. Kafrawi membuat kebijakan mengangkat pejabat yang memiliki latar belakang pengetahuan akademis sesuai bidang tugasnya dan menghindari pertimbangan sektarian, aliran dan kepartaian.

Sekitar tahun 1982 Kafrawi mengalami anti-klimaks karir sebagai birokrat dan pegawai negeri. Ia terseret gelombang politik yang menyebabkannya harus mengakhiri pengabdian di Departemen Agama dengan pensiun dini. Kafrawi dituduh menaruh loyalitas ganda kepada Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara dan kepada Ali Moertopo (Menteri Penerangan), di mana kedua pembantu Presiden Soeharto itu memiliki hubungan yang kurang baik. Kafrawi memang sejak lama dekat dengan Ali Moertopo, tapi ia tidak pernah mengkhianati atasannya.

Selain itu, Kafrawi difitnah menjadi simpatisan dan membantu Kelompok Petisi 50 dalam hal ini Ali Sadikin, A.M. Fatwa dan kawan-kawan yang bersikap kritis terjadap kebijakan pemerintah Orde Baru.

Kedekatan Kafrawi dengan Ali Sadikin, misalnya ia mengikuti rapat di rumah mantan Gubernur DKI Jakarta itu, adalah dalam keterkaitan sebagai pendiri dan pembina lembaga pendidikan Pondok Karya Pembangunan (PKP) DKI Jakarta di Ciracas Jakarta Timur. PKP yang didirikan tahun 1976, merupakan proyek monumental MTQ Nasional V Tahun 1972 di Jakarta. Pemrakarsa dan pendiri PKP ialah Gubernur Ali Sadikin, A.M. Fatwa, Kafrawi Ridwan, dan Letjen TNI (Purn) Soedirman (ayah dari Mayjen TNI Basofi Sudirman).

Kafrawi diberhentikan dari jabatan Sekjen dan penggantinya dilantik Mayor Jenderal TNI H.M. Ali Siregar sebagai Plt Sekjen. Menurut saksi sejarah, dari semua pergantian pejabat di Departemen Agama di masa itu, upacara pelantikan dan serah terima Sekjen sangat mencekam. Selesai acara pelantikan, para pejabat lebih memilih mengobrol sesama mereka, sementara Kafrawi hanya bersama wartawan.

Sikap dan penghormatan Ali Siregar yang bukan dari karir Departemen Agama terhadap Kafrawi layak dikenang. Ali Siregar meminta agar di dalam ruangan Sekjen Departemen Agama disediakan dua meja, satu untuk Kafrawi. Ketika hal itu disampaikan kepada Kafrawi, sambil senyum ia berucap, “Untuk apa….”

Pergantian Sekjen membawa ekses yang tidak nyaman bagi pejabat dan staf yang dekat dengan Kafrawi. Mereka takut datang ke rumah Kafrawi, kecuali ada yang nekad malam hari, lantaran takut dilaporkan kepada Menteri Agama oleh “intel” yang memantau kediaman Kafrawi. Kondisi demikian dilaporkan kepada Menteri Agama Alamsjah. “Tidak ada yang gembira dengan pergantian saudara Kafrawi. Saya sendiri kecewa.” ucapnya.

Beberapa hari setelah pergantian Sekjen Departemen Agama, Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam percakapan dengan Marwan Saridjo, tim penulis pidato Menteri Agama dan terakhir menjabat Sekjen Departemen Agama, menyebut jasa-jasa Kafrawi yang sangat banyak di Departemen Agama. Gagasan pembangunan kantor Departemen Agama di Jalan Lapangan Banteng Barat – menurut Alamsjah – muncul dari Renstra Pembangunan Departemen Agama yang disusun oleh tim dipimpin Kafrawi. Selama menjabat Dirjen dan Sekjen, Kafrawi memberi perhatian besar dalam mengupayakan pembangunan berbagai sarana fisik keagamaan, seperti Wisma Sejahtera di beberapa kota, Wisma Departemen Agama di Tugu Bogor, Perumahan Pegawai Departemen Agama di Bambu Apus, pengembangan gedung Kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, dan lain-lain.

Keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri yang memperkuat eksistensi madrasah dan diakuinya ijazah tamatan madrasah, merupakan keberhasilan monumental yang dicapai di masa Menteri Agama Mukti Ali dan Kafrawi sebagai sebagai salah satu pemikirnya.

Mengutip artikel Marwan Saridjo di buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan, Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara saat itu mengungkapkan, “Pertama kali saya menginjakkan kaki di Departemen Agama, Saudara Kafrawilah yang saya andalkan untuk menjadi motor dalam meningkatkan peran dan citra Departemen Agama. Berulang kali saya katakan kepada Saudara Kafrawi, masa depan Departemen Agama berada di tangannya dan teman-teman dari IAIN. Kalau sekarang saya dipercayai Presiden menjadi Menteri Agama, tidak lebih sebagai polisi lalu lintas yang bertugas mengatur dan memberi rambu-rambu agar umat beragama satu dengan lain tidak saling berbenturan. Saya bukan ahli agama. bukan dokterandus IAIN. Saya tidak sekolah agama. Sekolah saya sekolah serdadu. Tetapi di luar dugaan dengan tiba-tiba ada teguran dari Presiden. Saya agak malu, karena sebagai Menteri Agama saya tidak mengetahui ada hubungan saudara Kafrawi dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah.”

Segala fitnah yang menyudutkan Kafrawi tidak terbukti sama sekali. Kafrawi menulis surat kepada Presiden Soeharto dan atas bantuan Soedjono Humardhani menyampaikannya. Kafrawi lalu dipanggil Presiden untuk memberi klarifikasi. Pak Harto menerima penjelasan Kafrawi dan tidak mempercayai keterlibatan Kafrawi dalam Petisi 50. Kafrawi diminta istirahat dari birokrasi dan selanjutnya aktif di Golkar.

Pengalaman Kafrawi menjadi pelajaran berharga bagi aparatur sipil negara. Birokrasi pemerintah harus terhindar dari konflik elite politik. Birokrasi harus terjauh dari fitnah, berita bohong (hoax) dan segala hal yang merugikan lembaga dan bisa menghancurkan karir seseorang.

Dalam hubungan ini, saya ingin mengungkapkan Kafrawi dan Alamsjah merupakan dua pribadi yang tidak mempunyai sifat pendendam. Suatu hari setelah Kafrawi menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Amanah, ia bersama Lukman Umar (pemimpin Kartini Group) diterima Alamsjah di kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Saat menyambut Kafrawi, dengan semangat silaturahim dan persahabatan Menteri Koordinator Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara berucap, “Saudara Kafrawi, hal yang sudah lalu kita lupakan. Kita memikirkan hal-hal yang akan dihadapi ke depan.”

Menjelang terbentuknya Kabinet Pembangunan V tahun 1988 Alamsjah dikabarkan memperjuangkan Kafrawi menjadi Menteri Agama. Kafrawi dinilainya adalah figur yang tepat untuk menjabat Menteri Agama. Presiden Soeharto saat itu masih menghendaki H. Munawir Sjadzali, MA, seorang dengan latar belakang diplomat karir dan duta besar untuk menjabat Menteri Agama selama dua periode (1983 – 1988 dan 1988 – 1993).

Marwan Saridjo, mantan Sekjen Departemen Agama mengungkapkan dalam buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan, “Dengan menjalin silaturahmi dan memberikan perhatian besar kepada Pak Kafrawi, agaknya Pak Alamsjah ingin mengubur dan menghapus peristiwa lama. Ketika Pak Alamsjah dipanggil menghadap Tuhan tahun 1998, saya yakin – insya allah – di antara keduanya tidak menaruh rasa dendam. Pak Kafrawi ikut mengantarkan jenazah almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Taman Pahlawan Kalibata.”

Setelah mengakhiri pengabdian di dunia birokrasi, Kafrawi aktif sebagai fungsionaris DPP Golkar. Ia diangkat menjadi Ketua Departemen Kerohanian DPP Golkar, anggota Badan Pekerja MPR-RI, dan anggota DPR-RI. Dalam posisinya di Golkar, Kafrawi punya andil mendekatkan dan menjembatani Golkar yang di masa Orde Baru merupakan the ruling party dengan aspirasi politik umat Islam.

Kafrawi adalah “tokoh dibalik layar” yang memiliki andil dalam memberi warna Islami dalam jagat politik Indonesia di era Orde Baru. Dalam bahasa lain, ia mewarnai Golkar dengan “warna hijau”. Sebagai “pejuang dari dalam” seperti diungkapkan Slamet Effendy Yusuf dalam buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan, Kafrawi sangat percaya bangsa Indonesia akan utuh apabila umat Islam diperlakukan secara wajar.

Presiden Soeharto mengangkat Kafrawi menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA-RI). Kafrawi dikenang sebagai sosok yang peduli terhadap hak-hak umat Islam, sementara sikap politik keumatan yang hanya mewakili kelompok, membeda-bedakan umat Islam yang satu dengan yang lain, terbukti tidak menguntungkan bagi persatuan umat dan keutuhan bangsa.

Dalam dekade 1990-an Kafrawi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ia menjabat Ketua Umum DMI selama dua periode tahun 1989 – 1994 dan 1994 – 1999 dan ada tambahan dua tahun. Pembentukan Dewan Masjid Asia Pasifik (DMAP) di era Menteri Agama Alamsjah tak lepas dari peran dan andil Kafrawi. Ia juga diberi amanah sebagai Ketua DPP GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam).

Dalam semua lingkaran pengabdian dan lembaga tempatnya berkhidmat. Kafrawi telah berbuat banyak untuk kemajuan umat dan bangsa. Selain tenaga dan pikiran yang didedikasikannya, sebagian harta kekayaannya diwakafkan sebagai sedekah jariyah di bidang sosial dan pendidikan melalui lembaga pendidikan Gontor.

Di hari tuanya Kafrawi berkonsentrasi dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan, antara lain sebagai Ketua Badan Wakaf Gontor, pembina Pondok Karya Pembangunan (PKP) DKI Jakarta dan Pesantren Al-Manar di Ciseeng Parung Bogor yang dirintis oleh Marwan Saridjo bersama-sama H.A. Malik Fadjar dan Amidhan.

Sebagai sesepuh Gontor, Kafrawi bersaudara dan keluarganya mewakafkan tanah wakaf untuk pengembangan dan perluasan cabang Gontor di Kediri Jawa Timur dan di Magelang Jawa Tengah. Kafrawi pernah menjadi Rektor Institut Studi Islam Darussalam (kini Universitas Darussalam Gontor).

Sejak dua tahun terakhir sebelum tutup usia atas kehendak Allah ia harus beristirahat karena sakit. Pada 9 Januari 2019 dilaksanakan acara tasyakuran milad Kafrawi dan peluncuran buku “Kiyai Seribu Pondok, Inspirasi & Dedikasi KH Kafrawi Ridwan” di kediaman beliau.

Menarik digaris-bawahi tulisan Prof. H. A. Malik Fadjar, Menteri Agama RI tahun 1998 – 1999 dan mantan Menteri Pendidikan Nasional pada buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan, “Pada dasawarsa 70 – 80-an, tatkala Pak Kafrawi memainkan, menduduki jabatan dan ikut menentukan kebijakan Departemen Agama, betapa banyak sahabat serta rekan yang mendatangi dan dibantu diringankan bebannya. Tetapi begitu ia dilengserkan dan dihimpit oleh gelombang politik, sahabat dan rekannya menjauhi. Paling tidak menjaga jarak atau tiarap. Khawatir terseret atau terkena sasaran tembak. Yang demikian itu bagi kalangan aktivis tidaklah berarti mematikan dan menjadikannya penderitaan yang berkepanjangan. Aktivis sejati akan tetap teguh dan tabah menghadapi pasang surutnya gelombang pergerakan politik. Dan Pak Kafrawi, sebagaimana kesaksian kolega serta para sahabatnya, terus berbuat untuk umat, baik melalui institusi formal maupun informal.”

Kafrawi telah pergi untuk selamanya. Jenazah almarhum diberangkatkan ke Magelang Jawa Tengah untuk dimakamkan di pemakaman keluarga dekat kompleks Pondok Modern Gontor Kampus 6 “Darul Qiyam” Dusun Gading Sari Magelang. Kampus Cabang Gontor ke-6 merupakan wakaf keluarga Kafrawi. Pondok Pesantren tersebut semula adalah rumah, pekarangan dan sawah yang diwakafkan pada tahun 2000 untuk pendidikan umat.

Sesuai wasiatnya, jenazah diberangkatkan lewat jalur darat menuju Magelang. Rabu malam, sebelum diberangkatkan jenazah dishalatkan di rumah duka di Jalan Madrasah Cipete Jakarta Selatan diimami oleh Drs. H. Taufiq Kamil, mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, dan sambutan pelepasan jenazah atas nama murid dan kolega disampaikan oleh Prof. Dr. M. Din Syamsuddin.

Saya bersyukur pernah berjumpa Pak Kafrawi. Suatu ketika saya mengikuti rapat yang beliau pimpin. Saya terkesan dengan kepiawaiannya mengarahkan rapat agar efektif, fokus dan to the point.

Pada acara peluncuran buku 70 Tahun Kafrawi Ridwan tahun 2002 di aula Masjid Istiqlal Jakarta saya juga hadir. Saat terakhir saya menjenguk Pak Kafrawi di hari Idul Fitri tahun 2018 di mana kondisi beliau sudah sulit berkomunikasi.

Pemimpin datang dan pergi silih berganti sesuai era dan waktunya masing-masing. Sejarah selalu mencatat hasil karya dan legacy setiap pemimpin.

Selamat Jalan Pak Kafrawi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang penuh kedamaian dan kemuliaan di akhirat.

M. Fuad Nasar (Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf)

Previous ArticleTakdir Anak Penjahit Menjadi CPNS Kemenag
Next ArticleMenag Lantik Tujuh Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri